Usai?

 

(Kepada Perempuan yang sudah usai?)

 

Catatan kecil untuk senyuman
yang pernah tersimpul untukku,
tepat pada waktu yang rawan,
hingga membuatku terpaku.



Mungkin,

Aku harus menjadi seorang yang lain.

Agar aku layak menyandang seluruh rasaku akanmu.

 

Waktu seperti behenti berputar

Sejak aku menatap ke dalam matamu.

Aku butuh kesadaran penuh,

Agar aku bisa mewujudkan

Semua hayalku.

Kamu pancarkan kecantikanmu dari dalam,

Wajahmu hanya cerminan kelembutan hati.

 

Pertanyaannya,

Kapan waktunya untuk mengucapkan

Aku cinta kamu?

Sementara waktu sudah berhenti berputar

Sejak aku menatap matamu.

 

 

Aku gemetar saat dekat denganmu,

Kamu tahu apa yang aku rasa?

Ya, kamu sempurna dalam hayalku.

Sering aku berharap

Semoga hayalku akanmu menjadi nyata dan indah,

Namun harapku untuk selalu gemetar

memangku rindu padamu,

Lebih besar dari harapku pada hayal yang menjadi nyata.

 

Begitu banyak keindahan

Terlempar jatuh dari kahyangan,

Salah satunya cinta.

Cinta adalah satu yang selalu indah.

Cinta adalah kandidat terkuat

Dalam singgasana hati setiap manusia.

Cinta adalah pelepas dahaga di tengah sahara,

Cinta adalah obat rindu yang memburu,

Cinta akan tetap pada hakikatnya;

Cinta tidak akan memberi apa-apa

Kecuali cinta itu sendiri.

 

 

Mencoba menggambarkanmu di depan wajahku,

Menatap kilaumu dengan kantuk di mataku.

Aku tertunduk dari gawaiku

Menyembunyikan wajah karena kilaumu

Menyambar mengaburkan pandanganku.

Menggoreskan tinta di pintu hatiku.

 

Memalingkan muka,

Apakah kamu masih mengharap aku memandangmu?

Aku rasa tidak,

Pandanganku sudah kabur,

Sudah tak lagi terbalas olehmu.

Senyumpun sudah enggan

Untuk singgah di bibir manismu.

Tak usah aku mengharap lagi diriku terpaku,

Aku sudah terlena dengan senyumku sendiri.

 

Kamu seakan berkata,

“Pandanglah aku dengan terbuka,

Tak usah kamu sembunyi-sembunyi.

Pandanglah aku sesukamu,

Pandanglah aku kapanpun kamu mau.”

Aku menjawab,

“Tidak, aku sudah memandangmu sesukaku,

Aku sudah memandangmu dengan ketulusanku,

Aku hanya ingin gemetar dan tertunduk.

Menatapmu dengan mataku yang lusuh.”

 

Selang berapa lama,

Aku terpandang matamu.

Mata kita beradu

Lalu kamu berlari tergesa,

Tidak menyisakan senyum,

Bahkan hanya sesimpulpun.

 

Mungkin hari ini akan berakhir begitu saja,

Digantikan oleh hari berikutnya

Tanpa ada satu halpun yang penuh makna.

Hampir sempurna hidupku,

Jika tanpa hari ini yang begitu layu.

 

Tidak begitu pasti,

Aku mencibir senyumku sendiri,

Lalu menolaknya dengan getir.

Aku pernah terpaku pada sebuah senyuman,

Sisi indah yang pasti dimiliki setiap insan.

Aku pernah terpaku pada sebuah senyuman,

Dari bibir manis seorang perempuan.

Senyuman yang pasti untukku. Pasti untukku.

Senyuman yang terkembang dengan manis,

Dari sebuah bibir yang juga manis.

Lalu bersiap menyimpulkan,

Senyuman manis berikutnya.

Kini, aku merindukan senyuman itu,

Senyuman yang terkembang sebelumnya,

Aku menrindukannya.

Sudah tak ada lagi senyum manis,

Dari bibir yang juga manis,

Karena kejadian bengis,

Mengusir senyuman manis.

 

Aku adalah pengecut yang bahagia.
Karena
Aku bisa memandangmu dengan bahagia.
Aku adalah pecundang yang girang.
Karena
Aku bisa mengagumimu sesuka hati.

Tidak beda antara,
Cinta dan egois.
Suatu keterpaksaan yang manis.
Aku mencintaimu dengan egois.

Kalau engkau tahu
Engkau begitu indah
Untuk aku cintai.

Jangan paksa aku mengutarakannya,
Biarkan aku bercumbu dengan gemetarku.

Saat aku gemetar,
Itulah saat aku memandangmu.
Satu harapanku,
Agar engkau tetap indah.

 

Kampus, 15 Januari 2024

Comments

Popular posts from this blog

Renung-Relung Fatum Brutum Amor Fati

Tahun Bertambah, Sedang Aku Masih Satu

Revolusi Pemikiran Islam : Jejak Ali Syari'ati Mengartikulasikan Islam Progresif sebagai Ideologi Pembebasan