Sempat

 

Sebelum terlelap, dia pernah bercerita panjang lebar. Tentang nestapa dan derita yang dia dera. Seorang perempuan dengan mata sesayu subuh, pagi menemaninya saat dia belum sama sekali mengerti apa itu cinta. Warnanya, aromanya, gerak melingkarnya, serta rekahan dan pecahannya. Amuk, dan amarah kerap bersandang dengan pakaian kusut yang tak sempat disetrika, sekedar disemprotkan parfum zara. Saling mengikat, dan melingkarkan rantai dikira adalah cara terbaik mempertahankan sebuah hubungan yang selalu menjadi prioritas utama. Sesuatu yang paling berharga akan selalu didekap. Pikirnya dulu. Ku lirik jam pada dinding menunjukan angka 02.20.

 

Pernah suatu pagi, saat kau masih terlelap dalam mimpi. Aku mengecup keningmu mesra. Semua ini tidak akan berakhir, sangkaku saat itu. Menjadi makhluk merdeka memang menyenangkan. Namun penuh jebakan tak terduga. Benar katamu, lelaki itu berhasil mengikat mimpi-mimpiku. Tapi tenang, hatiku utuh untuk kamu. Aku diburu sesak di dada setelah mengecup keningnmu. Bulan demi bulan larut dalam desir di sajadah. Aku berdesis, pada malam tanpa rembulan. Aku telah salah sangka pada kehidupan ini. Segala bahagiaku yang kau perjuangkan ternyata hanya sekilas pesawahan tebu dari balik jendela kereta api yang melaju 120 km/jam. Begitu indah namun cepat berlalu. Kamu pun nampak sudah kehilangan cara untuk membahagiakan aku. Karena ternyata malam datang juga. Mencuri pemandangan yang sebelumnya selalu kau sajikan. Bagimu malam penuh dengan ancaman. Tidak bagiku, justru malam membuatku tenang. Paling tidak aku bisa terlelap dan bermimpi. Persis saat keningmu aku cium.

Aku sih sebenarnya tak suka muluk-muluk. Namun pagiku dan dorongan dari orang tuaku membuat aku harus menggenggam sesuatu yang lebih dari sekedar mimpi. Paling tidak, mimpi yang menjadi nyata. Lelaki itu berani memastikan. Sedangkan kamu, hidupmu seperti buku catatan yang baru aku beli untuk menulis ini. Kosong. Bodohnya lagi, polos. Boro-boro tawaran rumah modern classic yang dipenuhi anggrek, mawar, dan tulip, sekedar maafpun alot.

"Surat cinta ini untuk siapa, sedangkan cinta sudah tidak bisa menawarkan apa-apa selain meninggalkanmu dalam keadaan segelap ini. Karena bulan sudah lama larut. Cinta, dan hatiku utuh untukmu. Hanya ragaku, butuh seseorang yang bisa memberi kepastian untuk mewujudkan kebahagiaan yang lebih lama dari sekedar pemandangan dari kaca jendela kereta api. Akhir kata, lanjutkan hidupmu seperti yang kamu mau."

Kini aku mengerti keadaannya. Tapi aku tak bisa berkata dan berbuat apa-apa. Bahkan sekedar menghabiskan sisa malam sembari berdoa.

Komi, 1 Januari 2024

Comments

Popular posts from this blog

Renung-Relung Fatum Brutum Amor Fati

Tahun Bertambah, Sedang Aku Masih Satu

Revolusi Pemikiran Islam : Jejak Ali Syari'ati Mengartikulasikan Islam Progresif sebagai Ideologi Pembebasan