Rumah dan Pulang

    Coretan ini lahir dari obrolan panjang nan dalam oleh saya dan shitujang pada malam minggu di altar kostnya berteman kopi dan rokok kretek favorit masing-masing. Pikiran kita yang acap kali masih kekanak-kanakan masih sering menganggap bahwa rumah adalah tempat pulang sehingga kita bisa melakukan semua dan semau kita. Kenapa kami bilang kekanak-kanakan? sebab ya begitulah anak-anak. Egonya masih utuh dan berdiri sendiri, belum ditopang dengan logika dan perasaan yang orang-orang menyebutnya "kedewasaan". 

    Ternyata setelah kita selami di antara pahit kopi dan kelabu asap kretek filter, dari selepas isya hingga malam berubah menjadi jingga kekuningan, kami hanyut pada satu perdebatan ringan namun dalam. Pikiran kita yang pada saat itu agak lelah tiba-tiba mulai terenyak-terhentak, seolah tersengat aliran listrik dalam tegangan tinggi. Kami dihadapkan dengan pertanyaan bahwa apabila rumah adalah seperti itu (tempat pulang agar kita bisa melakukan semua hal dan semau kita)? 

    Kemudian bagaimana dengan penghuni rumah yang lain? jangan-jangan yang kita maksud rumah selama ini hanyalah kamar pribadi? yang kita boleh telanjang berdiri di depan cermin? Apakah rumah seharusnya seperti itu? atau rumah seharusnya tidak seperti itu? Celetupan-celetupan itu mulai muncul di benak dan kepala kami. Kalo gitu artinya rumah hanya tempat kecil bagi ego kita dong? kan seharusnya tidak! Rumah seharusnya tempat dimana kita pulang dan menemukan cinta serta kebaikan di dalamnya. Iya nggak sih? baik kalo begitu, bagaimana dengan ego kita? dimana dia akan berlabuh? apakah di suatu tempat yang lebih kecil lagi dibanding rumah? misalnya mempunyai ruangan sendiri? pertanyaan-pertanyaan itu selalu gagal kami jawab. 

    Sepertinya ego memang harus punya ruangnya sendiri seperti ruang kerja di dalam sebuah rumah. Tempat itu bukan harus itu terbatas bukan ruang bebas yang bisa dimasuki siapapun. Di "kamar kerja" itulah ego tumpah dan ditelanjangi tanpa ada siapapun yang tau. Bisa jadi juga, ruang itu bisa disebut sepi dan sunyi? lebih mirip tempat peribadatan ya, tapi yasudah. Percobaan kami untuk menjawab selalu batal dengan sendirinya. Sehingga kami masih belum tahu pasti. Tapi demi berlangsungnya kehidupan kami sebagai manusia yang butuh istirahat, Kemudian kami masih punya sisa tenaga untuk berjalan menuju tempat tidur kami yg empuk kesimpulan sementara kami mengatakan rumah adalah suatu tempat atau sesuatu dimana kita bisa kembali dengan nyaman, serta diri kita bertambah menjadi baik dan menjadi lebih hidup di dalamnya.


Amdba & Shitujang

Kaliurang, 15 Juni 2024

Comments

Popular posts from this blog

Another

Tabah