Posts

Another

 Tidak semua orang di dunia ini menyukai bunga, mentari dan kupu-kupu. Beberapa yang lain justru terkesima dengan gelap, bulan, dan serigala. Jadi janganlah membatasi keindahan itu sendiri, sebab entah kelak kita akan menjadi bagaimana.

Hitamku

Jangan campuri warna hitamku yang kekal, Ia adalah malam tanpa bintang, Pekat, dalam, tak tergoyahkan, Bukan sekadar bayang di balik tirai. Hanya hamparan garis edar Warna-warnimu mungkin bersinar terang, Merah jambu, biru langit, kuning mentari, Namun mereka hanyalah kilau sementara, Mudah pudar di bawah cahaya mentari yang kasar. Hitamku adalah rahasia malam, Tempat kegelapan dan ketenangan berpadu, Ia tak butuh cahaya untuk bersinar,  Tak perlu pelangi untuk mengukir makna, Sebab, hitam adalah makna itu sendiri Mungkin warna-warnimu indah, namun rapuh, Mereka menari dalam kegembiraan sesaat, Sedangkan hitamku berdiri kokoh, Dalam keabadian yang tak tergantikan. Jadi biarkan hitamku tetap murni, Tak tersentuh oleh keceriaan yang sementara, Karena dalam hitamku, kutemukan diriku, Dalam kekalnya tenang yang takkan pernah layu.

Ego adalah Musuh

Ego adalah bayanganku yang paling kelam, Ia menjelma dalam setiap desir nafas yang penuh hasrat, Menciptakan ilusi tentang kepentingan diri, Menggiringku menjauh dari kebenaran yang hakiki. Ia adalah cermin yang memantulkan bayangan palsu, Menipu mataku, membuatku percaya bahwa akulah pusat semesta, Padahal, dalam relung terdalam jiwa, Aku hanyalah sebutir debu dalam tarian kosmik yang tak terbatas. Ego adalah penghalang antara aku dan Sang Esa, Ia mengunci pintu menuju cahaya kebijaksanaan, Memisahkan diriku dari kesejatian, Menjauhkan aku dari cinta yang tulus, dari rasa yang murni. Dalam setiap langkahku, ego menuntut pengakuan, Ia haus akan pujian, lapar akan penguasaan, Namun semakin aku menuruti keinginannya, Semakin jauh aku terjerumus dalam kegelapan yang menyesatkan. Untuk mengalahkan ego, aku harus merendahkan hati, Mengakui kelemahan, menerima ketidaksempurnaan, Menyadari bahwa hakikat diriku bukanlah apa yang terlihat, Melainkan apa yang tersembunyi, Di balik semua topeng d...

Kita Hanya Perlu Menjadi Satu Orang

Kita hanya perlu menjadi satu orang, Dalam samudra tak bertepi, Menghilangkan batas antara aku dan kamu, Melebur dalam hakikat yang sama, Seperti titisan embun yang kembali ke lautan. Menjadi satu, adalah rahasia pencarian, Menggugurkan ego, membiarkan diri larut, Menemukan cermin Tuhan dalam wajah sesama, Mengerti bahwa kita adalah satu dalam nama-Nya, Seutas benang yang tak terpisah dari sutra semesta. Di dalam sunyi, kita mencari, Mengupas lapisan-lapisan diri, Hingga hanya tinggal cahaya yang murni, Yang menyatu dengan sinar ilahi, Dan di sanalah, kita mengerti, Bahwa menjadi satu, adalah pulang ke dalam diri-Nya. Kita hanya perlu menjadi satu orang, Menemukan Tuhan dalam setiap jejak langkah, Mengerti bahwa cinta adalah jalan pulang, Dan dalam setiap denyut nadi yang merindukan, Kita menemukan diri kita, dalam diri-Nya, Satu dalam kesatuan yang abadi.

Trust

Kepercayaan adalah benih yang rapuh, Kadang terluka oleh angin kecurigaan, Namun, dalam hati yang setia, ia tak pernah mati, Ia hanya tertidur, menunggu dipulihkan oleh cahaya keyakinan. Keyakinan adalah air suci, Yang mengalir lembut, menyejukkan, Mengisi celah-celah keraguan, Menyirami benih yang hampir layu, Membuatnya tumbuh kembali, kuat dan kokoh. Dalam perjalanan ini, Kepercayaan dan keyakinan berjalan berdampingan, Seperti dua sayap burung yang tak terpisahkan, Melayang tinggi, melewati badai kehidupan, Menemukan langit yang tenang di atas awan gelisah. Maka ketika kepercayaan terguncang, Jangan biarkan ia tenggelam dalam bayang-bayang, Temukan kembali keyakinan yang hilang, Yakini bahwa kebenaran akan selalu muncul, Seperti matahari yang setia kembali setiap pagi. Pengembalian kepercayaan bukanlah tugas yang mudah, Ia membutuhkan kesabaran dan keikhlasan, Namun dengan keyakinan, Kita bisa menyalakan kembali cahaya yang pernah redup, Membiarkan hati percaya sekali lagi, Bahwa k...

Rumah dan Pulang

    Coretan ini lahir dari obrolan panjang nan dalam oleh saya dan shitujang pada malam minggu di altar kostnya berteman kopi dan rokok kretek favorit masing-masing. Pikiran kita yang acap kali masih kekanak-kanakan masih sering menganggap bahwa rumah adalah tempat pulang sehingga kita bisa melakukan semua dan semau kita . Kenapa kami bilang kekanak-kanakan? sebab ya begitulah anak-anak. Egonya masih utuh dan berdiri sendiri, belum ditopang dengan logika dan perasaan yang orang-orang menyebutnya "kedewasaan".      T ernyata setelah kita selami di antara pahit kopi dan kelabu asap kretek filter, dari selepas isya hingga malam berubah menjadi jingga kekuningan, kami hanyut pada satu perdebatan ringan namun dalam. Pikiran kita yang pada saat itu agak lelah tiba-tiba mulai terenyak-terhentak, seolah tersengat aliran listrik dalam tegangan tinggi. Kami dihadapkan dengan pertanyaan bahwa apabila rumah adalah seperti itu (tempat pulang agar kita bisa melakukan semua...

Burn

 i though i would burn this city down if i saw you with someone else, but i saw you holding his hand and i couldn’t even light a match.