Agama dan Cinta, sebuah coretan

Apa ini? Adakah hubungannya agama dengan cinta? Kuberitahu ya, jelas ada. Banyak! Mungkin ada agama dan cinta ada hubungannya, tapi apakah cinta dengan agama ada? Lah, bukannya di negara kita orang menikah harus se-agama ya? Aturannya menyatakan seperti itu, entah alasannya apa. Sebab yang ku tau cinta tidak beragama hanya saja ia digunakan agama untuk masuk ke dalam jiwa setiap manusia.

Bicara cinta, aku menggunakan quotes dari seseorang yang saya lupa intinya kurang lebih begini “Cinta hanya kata-kata” atau “Cinta hanya istilah”. Apa maksudnya? Maksudnya adalah cinta hanya “kata” atau “istilah” untuk menyatakan suatu tindakan, perilaku, atau kata itu sendiri tanpa perlu dimaknai atau diterjemahkan, karena cinta seperti hukum dan pancasila di negeri ini. Yaps! Sifatnya Abstrak!! Sehingga urusan cinta, birkan yang menafsirkan yang sedang merasakannya untuk yang belum, sudah melewati, sedang tidak mengalami atau tidak pernah sama sekali jangan coba-coba menafsirkannya. Kok ada kata “sudah melewati dan sedang tidak mengalami?”. Oke, sebelumnya kita harus tau rumus dasarnya cinta ini dulu, tapi susah juga ya jelasinnya. Yaudah gini deh, sifat cinta itu repitisi (mengulang/berulang) hakikat cinta tidak akan dirasakan ketika baru terjatuh sekali.

Sebelum lebih luas, kita bicarakan cinta yang mudah saja, cinta yang kita rasakan dengan sesame manusia agar tidak terlalu luas dan merambah kemana-mana. Karena saya orangnya suka petualangan jadi, kadang-kadang suka berpetualangan juga ketika menulis. Meskipun begitu esensinya tetap sama, memberikan sudut pandang baru tentang sesuatu hal sesepele apapun itu, sekecil apapun itu. Sebab orang-orang dewasa suka melupakan detail-detail kecil ketika dia terbiasa. Ini mengapa imaji perlu dipertahankan. Kita bisa ambil contoh anak kecil atau kita saat kecil, pertanyaanku sekarang kemana perginya rasa penasaran saat menemui hal baru? Kemana perginya imaji yang menyenangkan dari suatu hal-hal sepele yang bahkan tak bisa kita raba, atau lihat dengan nyata 3d/4d misalnya. Itu semua karena distorsi yang terjadi di otak kita karena terbiasa terhadap banyak hal, akibatnya respon reflek kita hanya ooh (kecuali orang-orang pilihan alam).

Kita bisa ambil contoh riil dari CEO Amazon yang kaya raya dan sukses itu dalam mindsetnya setiap ia berangkat bekerja kurang lebih seperti ini “Aku pekerja baru” sehingga ia tetap akan tetap konsisten dan terjaga disaat ia bekerja dengan memperhatikan detail-detail kecil yang selalu ia perhatikan. Beberapa orang sewenang-wenang karena merasa senior dan terbiasa terhadap suatu hal, dan itu salah satu main problem dalam bekerja.

Back to the topic, kita sekarang bahas agama (ngeri-ngeri sedap) kita hanya membahas dalam lingkup kecilnya saja. Dimulai dari pertanyaan sebenarnya apakah agama itu? Okey, aku akan mulai dengan menjawabnya dengan jawaban saya di lembar UAS PAI. Agama adalah sarana untuk  mengatasi segala masalah hidup (frustasi, masalah moral, kesusilaan, ketertiban dan keamanan sosial, dan memuaskan pengetahuan. Okey kita simpulkan agama adalah tool of social control. But, perlu diperhatikan bahwa di tubuh kita bukan hanya ada raga saja, tapi juga jiwa sehingga yang tertib dan sehat bukan hanya jasmani saja, tapi juga rohani. Ini bagian penting yang banyak orang melupakannya, mereka pikir Saya adalah yang ini, dia pikir yang di dalam Saya bukan Saya, atau bagian di dalam Saya adalah bukan Saya. Nyatanya Saya itu terdiri dari Saya yang lain, mumetkan! AHAHAH beginilah aku, tapi tak apa. Kelak kalian akan “oh” pada waktunya. Dari penjelasan tadi, agama bukan hanya tool of social control, tapi juga tool of human control. Tentunya alat ini tidak berjalan sendiri, buku panduannya namanya Kitab Suci, Yang menggerakan biasa disebut Tuhan/Allah.

Dari situlah, akar permasalahannya manusia zaman now mengira agama hanya untuk dipeluk bagi dirinya dan orang lain, inget! Orang lain di sini yang dimaksud adalah kelompoknya. Mereka lupa ketika tool of human controlnya oke, maka social controlnya pun pasti oke. Kok gitu? Iyalah! Wong kontrol sosial itu subjeknya masyarakat dan di dalamnya ya manusia itu sendiri (manusia adalah zoon politicon alias mahluk sosial) dan jangan lupa manusia adalah mahluk individualis juga, sebuah paradox bukan. Hal itu disebut dengan Monodualistic yang artinya di satu sisi manusia mempunyai kepentingannya masing-masing, namun di sisi lain manusia membutuhkan orang lain untuk mencapai kepentingannya tersebut. Kok bisa sampe situ? Yaps, sebab agama juga mempunyai norma-norma atau aturan main di dalam kehidupan agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri (sepertinya harus dicetak tebal !) aku tambahkan dirinya sendiri karena saya kurang yakin bicara merugikan dirinya sendiri atau bahasa halusnya kebaikan dirinya sendiri di negara yang menganut sistem Demokrasi ini. Kok gitu? Iyalah darimana anak muda kita bicara tentang kebebasan individu (lgbt, kebebasan mabuk, free sex, dll) jika bukan dari negara barat? Biasanya statementnya gini “Toh yang rugi saya, toh yang rusak saya” Shit lah! Ateisme dan Agnostikme aja sekarang popular, padahal cuman males Ibadah aja atau biar keren. Bukannya aku anti-barat dan dicap blok-timur! Aku black-block atau sukur-sukur non-block aja. Masalahnya kita adalah negara yang terombang ambing dengan abstraksi idealismenya, tapi secara geografi ya patutnya kita ketimuran karena norma yang berlaku di adat-pun demikian bahkan filsafat yang dianut sejak dulu adalah filsafat timur dengan tanda (theisme-religio) yaitu terdapatnya Ketuhanan dan Agama. So, udh jelas?

 Kembali ke agama, ia ibarat air mineral, apapun merknya didalamnya tetap air mineral terlepas dari kandungan mineral, karbon, atau oksigen di dalamnya ya wkwk. Di zaman yang katanya modern ini, agama sepertinya sudah menjadi organisasi. Nah, kita bahas hal Ibadah. Kalo hal ini, barulah urusan pribadi sebab effort dari Ibadah hanya dirasakan oleh mereka yang mengamalkannya dan menurut saya tidak selalu tercermin dari perilaku di masyarakat. Maka dari itu agama ini diistilahkan dengan dipeluk, kalo kemanusiaan digandeng, kalo politik dinego (kek dagang). Dipeluk artinya kita menganggap ia sebagai teman dekat kita, yang selalu ada di kala apapun.

Kembali ke cinta, landasan agama berjalan ini karena cinta, atau lebih luas lagi semua yang ada di semesta ini karena Cinta. Entah cinta antara mahluk dengan mahluk atau mahluk dengan Tuhannya. So inilah Statement saya sendiri “Agama tanpa cinta adalah tidak ada”. Tanpa cinta agama hanya akan menjadi dogma dan organisasi tok dan baik buruknya tergantung stereotype masyarakat kepada agama itu dengan tolok ukur para penganutnya. Seperti sekarang bukan? Yaps

Akhirnya kita sampai di ujung dari kengawuran dan kengerian ini, selama ada cinta saya tidak peduli apa agamamu, islam, Kristen, hindu, budha, Zoroaster atau apapun itu. Karena selama cinta masih hadir di dadamu, kau manusia saudaraku dan kesalahan tidak akan mengurangi cinta karena salah semata-mata menegaskan kemanusiaan kita.

 Tanpa cinta kau dan benda-benda mati tidak ada bedannya, maka ketika manusia seperti itu ada jangan harap isi kepalanya akan utuh.

Nakula Besaja

Caruban Nagari, 6 Februari 2021

 

 

 

 

x

Comments

Popular posts from this blog

Rumah dan Pulang

Another

Tabah